John Wick: Chapter 4 tidak cuma judul paling baik di serinya, tetapi film martial arts paling baik semenjak The Raid 2 sembilan year lalu. Lebih-lebih kecuali tersedia yang memasukkannya didalam daftar film aksi paling baik sepanjang jaman pun saya bukan keberatan. Pasca Parabellum (2019) yang menghibur tetapi mulai terasa repetitif, Chad Stahelski melepas tali kekang eksplorasi, membiarkan filmnya bergerak liar selama 169 menit durasi.
Cerita di dalam naskah protesis Shay Hatten dan Michael Finch terlalu simple. Pasca membunuh The Elder (George Georgiou), John Wick (Keanu Reeves) makin diburu oleh High Table. Vincent de Gramont (Bill SkarsgÄrd) yang memimpin perburuan itu mengirim Caine (Donnie Yen), si pembunuh buta sekaligus mitra lama John. New York, Osaka, Berlin, sampai Paris menjadi latar kejar-kejaran kedua belah pihak.
Hotel Continental Osaka merupakan anjung pembuka yang seketika menegaskan superioritas filmnya. Tata suaranya bombastis, departemen artistik pun membangun estetika yang didukung oleh permainan cahaya neon. Hiroyuki Sanada memerankan Shimazu Koji, manajer hotel sekaligus pimpinan pasukan pembunuh bersama dengan berbagai kemampuan, terhitung dua pesumo yang dapat mementahkan berondongan peluru.
Puterinya, Akira, juga petarung handal. Rina Sawayama melakoni debut aktingnya secara meyakinkan, dan mungkin bakal menjadi tidak benar satu ujung tombak franchise ini di jaman depan.
Sekuen Osaka memiliki segalanya untuk menghadirkan titik puncak kelas satu di film aksi kebanyakan. Aspek tehnis luar biasa, koreografi aksi mumpuni sarat variasi, dan tentunya pertarungan John Wick melawan Caine. Donnie Yen adalah Mvp. Brutal, gesit, cerdik, tenang, ibarat perpaduan antara Ip Man dan Daredevil yang udah membuang moralitasnya.
Link nonton bisa kesini : Download film gratis
Ketika seluruh tersebut justru dijadikan set piece pembuka, apakah intensitas filmnya sesudah itu menurun? Rupanya bukan. Sebagaimana sinematografi garapan Dan Laustsen yang setia menampilkan kemegahan, entah kala berjalan standar hantam atau bukan, baik di didalam dan luar ruangan, aksinya pun tetap. Selalu seru, selalu intens, dan terpenting, selalu berusaha tunjukkan gebrakan baru.
Di sebagian titik, John Wick: Chapter 4 tampil bak video game. Tengok tampilan top-down ala shooting game (Pilihan senjatanya menguatkan kesan tersebut) di dalam suatu take panjang, hingga kejar-kejaran di jalanan Paris yang terasa bagai tidak benar satu level sulit di permainan platformer.
Dikarenakan durasinya mendekati tiga jam, kesan repetitif otomatis muncul, bahkan tiap John dibuat berjibaku benar-benar lama di satu lokasi, tapi tersebut tidak kekurangan besar. Saya lebih bahagia memandangnya sebagai risiko yang berani diambil supaya mampu melahirkan suguhan epik berskala besar. Stahelski mengerti tersebut. Pun nampaknya ia jelas film ketiga mulai kehabisan bahan bakar, supaya kali ini tiada kembali upaya menghambat diri. Tiap aksi dikemas se-hiperbola barangkali. Sekali ulang, layaknya video game.
Ceritanya barangkali tipis, namun bangunan global unik khas seri John Wick terus bisa kami temukan, misal sewaktu karakternya mengatur detail sebuah duel mengenakan permainan kartu unik. Duel itulah yang menjadi puncak filmnya. Titik puncak berani yang alih-alih coba tampil semakin besar, justru menekankan adu strategi ala spaghetti western, yang berujung terhadap deduksi yang terlalu memuaskan.